Dr. (H.C.) Ir. Ciputra lahir di kota kecil Parigi, Sulawesi Tengah
pada tanggal 24 Agustus 1931 dengan nama Tjie Tjin Hoan, ia anak ke 3 dari pasangan
Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Keluarga ini memiliki rumah yang sekaligus toko kelontong
di sebuah kota yang bernama Bumbulan, sekitar 150 km dari Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Ketika berusia 12 tahun ia kehilangan ayahnya yang meninggal di tahanan tentara pendudukan
Jepang karena tuduhan palsu dianggap mata-mata Belanda.
Kepahitan masa kecil telah menimbulkan tekad dan keputusan penting yaitu memiliki
cita-cita bersekolah di Pulau Jawa demi hari depan yang lebih baik, bebas dari kemiskinan
dan kemelaratan. Akhirnya Dr. Ir. Ciputra kecil kembali ke bangku sekolah walau terlambat.
Ia terlambat karena negara kita masih dalam suasana peperangan dengan tentara Belanda
maupun Jepang. Ia masuk kelas 3 SD di desa Bumbulan walau usianya sudah 12 tahun
atau terlambat hampir 4 tahun. Ketika usianya 16 tahun lulus dari SD kemudian melanjutkan
SMP di Gorontalo dan jenjang SMA di Menado setelah itu memasuki ITB jurusan arsitektur
di Bandung. Terlambat tapi bukan berarti terhambat bukan..?
Masa Dr. Ir. Ciputra menempuh pendidikan bukanlah sebuah masa yang penuh hura-hura
seorang remaja masa kini. Ia harus hidup dengan penuh keprihatinan. Pada masa di
SD ia biasa berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya 7 km. Pulang pergi menjadi 14
km. Pagi-pagi benar, sebelum berangkat ke sekolah ia harus mengatur makanan bagi
semua ternaknya. Ia mengalami banyak kesulitan dan hambatan namun itu bukan menjadi
alasan untuk tidak berprestasi.
Mengenang masa pendidikan Sekolah Dasar di Bumbulan yang penuh dengan perjuangan,
Dr. Ir. Ciputra berkata : ‘ Setiap hari saya harus bangun pagi jam 5.00 berlari
ke sekolah dan baru kembali tiba di rumah jam 2.00 siang dengan perut lapar …..’.
Ia juga pernah berkata: “Saya hanya memiliki pakaian yang sangat sedikit dan
tidak memiliki sepatu ataupun sandal….” Pada masa itu, jika hujan turun,
maka bertambahlah penderitaan Dr. Ir. Ciputra kecil karena dengan bertelanjang dada
ia harus pergi ke sekolah dengan berjalan dibawah tudungan daun pisang. Dan agar
bajunya tidak basah, maka ia harus melepas dan membungkusnya dengan daun woku, semacam
daun palem yang besar. Sehingga baju tersebut tetap kering saat tiba disekolah.
Di hari Minggu Dr. Ir. Ciputra remaja menggunakan waktunya untuk berburu babi dan
rusa dengan membawa 17 ekor anjing. Tidak heran otot-otot kakinya menjadi sangat
terlatih dan kemudian ketika di bangku SMA ia terpilih menjadi atlit Sulawesi Utara
untuk lomba lari 800 meter dan 1500 meter di PON II di Jakarta. Itulah masa-masa
penuh perjuangan bagi Dr. Ir. Ciputra yang saat ini kalau ia kenang kembali menjadi
sebuah kenangan indah tentang bagaimana otot-otot mentalnya menjadi kuat karena berbagai
tempaan masa lalu.
Keseluruhan pendidikan masa remaja Dr. Ir. Ciputra memang merupakan gabungan dari
pendidikan yang akademis dan juga non akademis, di dalam kelas dan juga di luar kelas.
Inilah yang dapat disebut sebagai sekolah kehidupan yang membuat seseorang tumbuh
menjadi pribadi yang mandiri dan utuh. Oleh karena itu tidak heran bila saat ini
ia berpendapat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membangun manusia
seutuhnya dan beberapa cirinya adalah membangun moral, mendorong kreativitas dan
mendidik karakter-karakter mandiri siswa-siswinya.
(UCEO - Universitas Ciputra Entrepreneurship Online)